Krisis Seksisme dan Kekerasan Seksual di Kalangan Mahasiswa Kedokteran di Inggris: Sebuah Gambaran Serius tentang Budaya Institusi

 



Isu seksisme dan kekerasan seksual di dunia pendidikan tinggi bukanlah perkara baru. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, perhatian global semakin tertuju pada sektor kesehatan—khususnya pada mahasiswa kedokteran—yang ternyata tidak luput dari masalah serius ini. Di Inggris, berbagai laporan, survei, dan investigasi internal menunjukkan bahwa banyak mahasiswa kedokteran, baik perempuan maupun laki-laki, menghadapi perlakuan tidak pantas, pelecehan verbal, intimidasi, hingga kekerasan seksual langsung selama menjalani masa studi maupun praktik klinis. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran besar karena profesi medis seharusnya menjadi lingkungan yang menjunjung tinggi etika, profesionalisme, dan keamanan bagi seluruh individu.

Akar Masalah: Budaya Hierarki dan Ketimpangan Kekuasaan

Salah satu penyebab mendasar yang sering disebut dalam berbagai diskusi mengenai masalah ini adalah budaya hierarki yang kuat di institusi pendidikan kedokteran. Dalam dunia medis, otoritas dan pengalaman sering dianggap sebagai tolok ukur utama. Konsultan senior, dokter spesialis, dan tenaga medis berpengalaman memiliki posisi yang sangat tinggi dalam struktur organisasi rumah sakit atau universitas. Hal ini sering menempatkan mahasiswa kedokteran—yang baru memasuki dunia klinis—dalam posisi rentan.

Ketimpangan kekuasaan semacam ini menciptakan sistem di mana korban merasa sulit untuk bersuara. Mereka khawatir bahwa menyampaikan keluhan dapat memengaruhi penilaian klinis, rekomendasi untuk masa depan, atau bahkan kelulusan mereka. Banyak mahasiswa kedokteran merasa bahwa karier mereka bergantung pada evaluasi orang-orang yang mungkin juga merupakan pelaku pelecehan atau mendukung lingkungan yang tidak aman.

Jenis-jenis Pelecehan yang Terjadi

Kasus pelecehan seksual yang dialami mahasiswa kedokteran tidak selalu berbentuk tindakan fisik agresif. Banyak yang bermula dari komentar seksis, candaan tidak pantas, atau perilaku merendahkan yang dianggap "normal" oleh sebagian staf senior. Beberapa contoh bentuknya antara lain:

  1. Komentar mengarah pada tubuh atau penampilan fisik, yang seringkali dilakukan saat mahasiswa mengikuti sesi klinis atau ronde pasien.

  2. Candaan seksual atau insinuasi yang tidak senonoh, biasanya dilontarkan dalam situasi informal atau saat suasana kerja sedang santai.

  3. Sentuhan tanpa persetujuan, misalnya menepuk punggung, memegang bahu, atau mendekatkan tubuh secara tidak nyaman.

  4. Permintaan bernada intimidasi, termasuk tekanan untuk ikut dalam kegiatan sosial yang berisiko atau permintaan bertukar pesan pribadi.

  5. Tindakan agresif, mulai dari pelukan paksa hingga serangan yang lebih parah.

Anehnya, banyak dari tindakan ini justru dianggap sebagai “bagian dari budaya klinis” oleh sebagian pelaku. Mentalitas ini membuat masalah semakin parah dan menyebabkan mahasiswa enggan melaporkan insiden yang dialami.

Dampak Psikologis dan Profesional

Korban pelecehan tidak hanya mengalami luka emosional sementara. Dalam jangka panjang, dampaknya bisa sangat kompleks dan mempengaruhi karier mereka sebagai tenaga medis masa depan. Beberapa dampak yang paling umum di antaranya adalah:

1. Penurunan Kesehatan Mental

Korban sering mengalami kecemasan, stres berkepanjangan, dan trauma psikologis. Banyak mahasiswa mengaku sulit berkonsentrasi, mengalami gangguan tidur, bahkan mengalami gejala depresi.

2. Menurunnya Prestasi Akademik

Ketika kesehatan mental terganggu, kemampuan belajar dan bekerja juga menurun. Korban mungkin merasa takut atau enggan masuk praktik klinis karena khawatir akan bertemu pelaku.

3. Hilangnya Kepercayaan pada Institusi

Mahasiswa yang merasa institusi tidak memberikan dukungan cenderung kehilangan rasa percaya terhadap sistem pendidikan dan struktur kesehatan. Mereka melihat bahwa pihak berwenang seringkali berusaha menutupi masalah demi reputasi.

4. Dampak Jangka Panjang pada Karier

Tidak sedikit mahasiswa yang mempertimbangkan untuk pindah fakultas, berhenti dari dunia medis, atau menghindari spesialisasi tertentu karena pengalaman buruk yang mereka alami.

Mengapa Institusi Gagal Melindungi Mahasiswa?

Salah satu kritik terbesar terhadap universitas dan rumah sakit pendidikan di Inggris adalah lemahnya respons terhadap laporan pelecehan. Banyak mahasiswa mengaku bahwa laporan mereka tidak ditangani dengan serius. Bahkan ada yang merasa disalahkan atau diminta untuk “memahami konteks” karena pelaku adalah staf senior.

The systemic failure dapat dijelaskan oleh beberapa faktor utama:

  1. Takut skandal publik
    Banyak institusi lebih fokus menjaga reputasi daripada melindungi korban.

  2. Proses pelaporan yang rumit
    Mahasiswa harus melalui birokrasi yang panjang dan kerap bertemu dengan pihak-pihak yang justru memiliki konflik kepentingan.

  3. Budaya menyalahkan korban
    Korban sering ditanya apakah mereka salah memahami situasi, terlalu sensitif, atau menafsirkan komentar biasa sebagai pelecehan.

  4. Kurangnya pelatihan etika staf
    Meski banyak rumah sakit memiliki kebijakan anti-pelecehan, implementasinya lemah.

  5. Minimnya representasi atau dukungan dari pihak netral
    Mahasiswa merasa sendirian dan tidak memiliki lembaga independen untuk mengadvokasi mereka.

Survei Mengungkap Angka yang Mengkhawatirkan

Dalam survei yang dilakukan oleh organisasi mahasiswa kedokteran di Inggris, ditemukan bahwa ratusan mahasiswa mengalami pengalaman tidak pantas selama masa studi. Beberapa statistik yang sering muncul dalam laporan tersebut meliputi:

  • Lebih dari sepertiga mahasiswa perempuan melaporkan pernah mengalami pelecehan seksual.

  • Mahasiswa laki-laki juga menjadi korban, meskipun jumlahnya lebih sedikit, dan seringkali menghadapi stigma ketika melaporkan kejadian.

  • Sebagian besar korban menyatakan insiden terjadi di ruang klinis atau selama interaksi langsung dengan staf senior.

Angka-angka ini menunjukkan betapa sistemik dan luasnya masalah ini.

Dampak pada Lingkungan Belajar Kedokteran

Ketika lingkungan pendidikan tidak aman, kualitas pembelajaran pun menurun. Mahasiswa tidak dapat fokus pada tujuan utama mereka: menjadi dokter yang kompeten dan empatik. Ironisnya, dunia medis menuntut profesionalisme dan empati tinggi—nilai yang justru rusak karena budaya pelecehan yang berlangsung di belakang layar.

Beberapa mahasiswa mengaku bahwa mereka mulai mengembangkan ketidakpercayaan terhadap staf senior dan mempertanyakan integritas moral para dokter yang seharusnya menjadi panutan.

Upaya Perubahan: Perlahan Namun Nyata

Meski banyak tantangan, perubahan mulai terlihat. Semakin banyak mahasiswa yang berani bersuara terhadap perlakuan tidak pantas. Beberapa institusi kini mulai:

  • Mengembangkan program pelatihan wajib tentang kewaspadaan terhadap pelecehan seksual,

  • Menyederhanakan prosedur pelaporan,

  • Menyediakan fasilitas konseling khusus,

  • Menciptakan ruang aman untuk diskusi,

  • Melibatkan pihak eksternal untuk melakukan investigasi kasus.

Mahasiswa juga semakin sadar akan hak mereka, dan media sosial menjadi sarana penting untuk berbagi pengalaman serta menggalang dukungan.

Kesimpulan

Krisis seksisme dan kekerasan seksual di kalangan mahasiswa kedokteran di Inggris adalah masalah serius yang mencerminkan budaya institusional yang sudah terlalu lama diabaikan. Tempat yang seharusnya menjadi ruang aman untuk belajar dan berkembang justru berubah menjadi ruang ketidaknyamanan dan ketakutan bagi banyak mahasiswa. Budaya hierarki, ketimpangan kekuasaan, minimnya pengawasan, dan kegagalan institusi dalam memberi perlindungan membuat pelecehan terjadi secara sistemik.

Namun, di tengah kompleksitas masalah ini, harapan tetap ada. Dengan meningkatnya kesadaran, keberanian mahasiswa untuk bersuara, dan tekanan publik terhadap institusi pendidikan tinggi untuk bersikap transparan, perubahan perlahan mulai bergerak. Tanggung jawab besar kini berada pada universitas dan rumah sakit pendidikan untuk benar-benar melindungi mahasiswa dan menciptakan lingkungan yang aman, profesional, dan beretika.

Menciptakan budaya medis yang bebas dari pelecehan bukan hanya soal melindungi mahasiswa, tetapi juga memastikan masa depan layanan kesehatan yang bermartabat dan manusiawi.

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama