Seruan Keras dari Komunitas Adat: “Kita Akan Musnah Jika Terus Mengekstrak Bahan Bakar Fosil”

 




Di tengah pertemuan global mengenai iklim yang semakin mendesak, suara komunitas adat kembali menggema lebih kuat dari sebelumnya. Mereka membawa pesan lugas, tanpa basa-basi, tanpa retorika rumit: umat manusia sedang berada di jalur yang menghancurkan diri sendiri. Pesan ini keluar dari pengalaman panjang hidup berdampingan dengan alam—pengalaman yang sering diabaikan dunia modern. Ketika eksploitasi bahan bakar fosil terus meningkat, komunitas adat yang berada di garis depan perusakan lingkungan melihat langsung bagaimana ekosistem runtuh, pangan berkurang, air mengering, dan kehidupan mereka semakin terancam.

Pernyataan “kita akan musnah” bukan sekadar kalimat dramatis. Bagi mereka, ini kenyataan yang sehari-hari terlihat jelas. Jika dunia industrial masih melihat ekstraksi minyak dan gas sebagai sumber energi, komunitas adat melihatnya sebagai luka besar pada tubuh bumi—luka yang semakin dalam dari tahun ke tahun.


1. Perspektif Komunitas Adat yang Sering Diabaikan

Komunitas adat di berbagai negara, mulai dari Amazon hingga Arktik, sejak lama memperingatkan bahwa kerusakan lingkungan bukan hanya sekadar kenaikan suhu atau cuaca ekstrem. Bagi mereka, alam adalah sistem hidup yang saling terhubung. Ketika hutan dibakar, sungai tercemar, atau tanah digali dalam-dalam untuk menemukan cadangan fosil baru, dampaknya menyebar ke seluruh sistem kehidupan.

Mereka hidup dengan prinsip bahwa bumi bukan milik manusia; manusialah yang menjadi bagian kecil dari bumi. Konsep ini seringkali bertentangan dengan model ekonomi global yang menilai alam dari sisi keuntungan, bukan keberlanjutan. Akibatnya, meski komunitas adat hanya menyumbang sebagian kecil dari populasi dunia, mereka yang paling merasakan dampak dari perubahan iklim, meskipun kontribusi mereka terhadap kerusakan lingkungan adalah yang paling kecil.


2. Dampak Eksploitasi Fosil yang Menyentuh Kehidupan Mereka Secara Langsung

Bagi banyak komunitas adat, lokasi tempat tinggal mereka justru berdekatan dengan hutan, pegunungan, dan wilayah kaya sumber daya—tempat-tempat yang menjadi target utama perusahaan minyak dan gas. Ketika industri masuk, rantai kerusakan pun dimulai:

a. Pencemaran tanah dan air

Sumur minyak yang bocor, pembuangan limbah, atau aktivitas pengeboran dapat mencemari sungai yang menjadi sumber utama konsumsi mereka. Air yang dulu jernih dan bersih berubah menjadi keruh dan berbahaya.

b. Hilangnya sumber pangan

Hewan liar menjauh karena habitat terganggu, ikan mati, dan tanaman obat yang selama ratusan tahun digunakan secara turun-temurun sulit ditemukan.

c. Perubahan iklim lokal

Deforestasi dan pengeboran besar-besaran mengubah suhu lokal, membuat pola cuaca menjadi tidak menentu. Hujan tiba tidak sesuai musim, kekeringan terjadi lebih panjang, dan badai lebih sering muncul.

d. Krisis kesehatan

Polusi udara dari pembakaran gas atau aktivitas industri menyebabkan meningkatnya penyakit pernapasan, iritasi kulit, hingga penyakit kronis lainnya.

Bagi komunitas adat, kerusakan itu bukan teori. Itu adalah kenyataan pahit yang menghancurkan budaya, kesehatan, dan keberlangsungan hidup mereka.


3. Pesan Keras: Alam Tidak Bisa Terus Dipaksa

Salah satu alasan suara komunitas adat begitu kuat adalah karena mereka melihat bumi bukan sebagai “sumber daya”, tapi sebagai “sesuatu yang hidup”. Mereka tidak hanya memikirkan generasi sekarang, tetapi tujuh generasi ke depan.

Ketika mereka mengatakan manusia akan “musnah”, itu bukan peringatan kosong. Mereka melihat tanda-tandanya:

  • hutan yang dulu rimbun kini terbakar setiap tahun,

  • sungai yang dulu penuh ikan kini nyaris mati,

  • hewan-hewan migrasi kehilangan jalur,

  • cuaca ekstrem menjadi rutin.

Jika manusia terus memaksa bumi memberikan lebih banyak minyak, lebih banyak gas, dan lebih banyak batu bara, bumi akan merespons dengan cara yang jelas: ketidakseimbangan ekosistem, badai besar, kekeringan panjang, dan konflik perebutan sumber daya.


4. Pemahaman Ilmiah Mendukung Peringatan Mereka

Yang menarik, seruan komunitas adat ini tidak berdiri sendirian. Penelitian ilmiah modern tentang perubahan iklim mengonfirmasi hampir semua kekhawatiran tersebut. Pembakaran bahan bakar fosil adalah penyumbang terbesar emisi karbon, yang meningkatkan suhu dunia secara drastis. Kenaikan suhu itu memicu serangkaian reaksi berantai:

  • lapisan es mencair,

  • permukaan laut naik,

  • pola hujan bergeser,

  • cuaca ekstrem semakin sering,

  • keanekaragaman hayati menurun.

Dengan kata lain, apa yang telah diperingatkan komunitas adat selama puluhan tahun kini terbukti secara ilmiah di meja perundingan global.

Namun, meski bukti ilmiah sudah jelas, perubahan kebijakan dunia masih jauh dari cukup. Inilah yang membuat komunitas adat semakin keras menyuarakan keprihatinan mereka.


5. Kearifan Lokal: Solusi yang Sering Terlupakan

Ironisnya, komunitas adat yang paling sedikit berkontribusi pada perubahan iklim justru membawa sebagian solusi paling efektif. Mereka memiliki praktik pengelolaan alam berkelanjutan—sebuah pengetahuan yang diwariskan secara turun-temurun:

  • penggunaan lahan tanpa merusaknya,

  • sistem pertanian organik,

  • perlindungan hutan berbasis adat,

  • penggunaan obat alami dari tumbuhan,

  • pemahaman ekologi berbasis pengamatan ratusan tahun.

Banyak wilayah yang dikelola masyarakat adat terbukti memiliki tingkat deforestasi yang jauh lebih rendah, keanekaragaman hayati yang lebih tinggi, dan sistem air yang lebih bersih dibandingkan wilayah yang dikelola industri modern.

Sayangnya, model pembangunan global sering mengabaikan paradigma ini dan lebih memilih pendekatan eksploitasi besar-besaran demi keuntungan jangka pendek.


6. Tuntutan Mereka: Dunia Harus Mendengar

Ada beberapa tuntutan utama yang disuarakan komunitas adat dalam forum global:

  1. Penghentian ekspansi bahan bakar fosil.
    Mereka menolak proyek baru minyak, gas, dan batu bara yang merusak wilayah adat.

  2. Perlindungan hukum terhadap tanah adat.
    Pengakuan resmi atas hak-hak mereka menjadi kunci untuk melindungi hutan dan ekosistem.

  3. Transisi energi yang adil.
    Peralihan ke energi bersih harus melibatkan komunitas adat sebagai penjaga alam, bukan mengorbankan mereka.

  4. Partisipasi nyata dalam perumusan kebijakan.
    Mereka ingin berpindah dari “objek yang terdampak” menjadi “subjek yang menentukan masa depan”.

Tuntutan ini bukan untuk kepentingan kelompok kecil, tetapi untuk kelangsungan seluruh planet.


7. Masa Depan Umat Manusia Bergantung pada Keputusan Hari Ini

Peringatan bahwa manusia “akan musnah” bukanlah ancaman, tetapi alarm keras untuk membangunkan dunia. Manusia tidak bisa terus menggali bumi tanpa batas dan berharap alam tetap stabil. Kita hidup di planet dengan sistem yang sensitif, saling terhubung, dan tidak bisa diperbaiki jika kerusakan sudah terlalu jauh.

Komunitas adat telah menjaga bumi selama ratusan bahkan ribuan tahun. Mereka memahami ritme alam, batas-batasnya, dan konsekuensi jika batas itu dilanggar. Kini, pesan mereka menjadi lebih relevan dari sebelumnya.

Apakah dunia akan mendengarkan?
Atau kita akan terus berjalan di jalur yang sama—hingga benar-benar terlambat?

Satu hal pasti: masa depan bumi, dan masa depan manusia, ditentukan oleh pilihan yang kita buat hari ini. Jika peringatan dari mereka yang hidup paling dekat dengan alam saja diabaikan, maka kehancuran bukan lagi kemungkinan, tetapi keniscayaan.


Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama